Rabu, 21 April 2010

satu Nyawa di Sudut Bangunan Tua Batavia

Lama tak terinjak walau selalu terbayang. Kekerasan yang terbalut oleh angkuhnya kemegahan. Hiruk pikuk yang selalu akrab dengan pencemaran. Langkah lapar tanpa kepedulian yang hilang tertelan egois dan individualisme sesama insan. Walau tak setuhnya, tapi seperti itulah gambaran kota kelahiranku, Jakarta.
Beberapa hari, tepatnya dua hari yang lalu aku kembali menginjak tanah kelahiranku, Jakarta. Tepatnya dalam rangka berkeliling bersama bude dan sepupuku. Berkeliling Kota menggunakan mobil yang disupiri oleh pamanku. Beberapa daerah kami jajaki, salah satunya daerah yang bernama...
Kami berhenti di sebuah toko kertas dan setelah masuk ke dalamnya, terlihat sosok yang membuahkan tanda tanya dalam benakku.
Seorang pria bermata sipit, kurus berperawakan China, kira2 berumur 60 tahun. Terduduk di sebuah kursi reot dengan penerang ruangan berukuran 5 watt. Berada di balik ribuan tumpukan kertas duplex berbau menyengat yang tersimpan bersamanya dalam sebuah bangunan Kios Tua berukuran 4X4m bernama XXX. Dengan berbekal nasi putih, kecap, teri/asin, dia menghabiskan masa kecil hingga menua di sana, menjadi 'PENGUSAHA' kertas dengan prinsip hidup takkan makan enak sebelum hidup kaya. Jakarta, 18-02-10

Selasa, 19 Januari 2010

MENGEJAR MIMPI

Memang tak mudah untuk mengejar mimpi
Bila keteguhan tak ada di jiwa
Tetap tersenyum dan berdoa
Kepada-Nya...

Setinggi apa cita dan mimpimu
Yakinlah jika kau bisa meraih
Dunia menunggu suara
Kemenanganmu

Jelajahi... 
Keindahan yang menjelma di hidupmu
Suara hati...

Senantiasa kan berbunyi jadikan semangat tuk bermimpi

-Maudy, Rendy, Claudia SANG PEMIMPI -

MUADZ BIN JABAL


Muadz bin Jabal atau biasa disebut sebagai Abu Abdirahman, beliau termasuk dalam golongan bangsawan, berbadan tinggi, cakep, putih bersih, besar kelopak matanya, putih mengkilat giginya, berambut pendek lagi keriting, berbudi bahasa dan manis tuturnya serta cerdas dan cemerlang otaknya. Beliau termasuk dalam kelompok yang pertama masuk islam. Beliau masuk islam umur 18 tahun dan sudah ikut perang Badar pada umur 20 tahun.

Beliau merupakan seorang sahabat nabi yang memiliki banyak keutamaan, beliau termasuk Immamu Fuqaha, pemimpin para fakih, kanzul Ulama gudangnya Ilmu. Seorang pemuda yang penyabar, dermawan, murah hati, lapang dada, dan tingi budi pekertinya.

Tentang ilmunya Umar bin Khatab pernah berkata, ” Barangsiapa yang ingin bertanya tentang Al-Qur’an hendaknya ia datang kepada Ubay bin Kaab, dan barang siapa yang ingin tanya tentang hukum halal dan haram, hendaknya ia datang kepada Mu’adz bin Jabal. Dan barang siapa yang ingin bertanya tentang harta hendaknya ia datang kepadaku. Sesungguhnya Allah menjadikanku tukang penyimpan (baitulmal).

Demikianlah memang Muadz bin Jabal merupakan orang yang diketahui paling paham halal haram, dan beliau sering dimintai untuk berfatwa. Sebagaimana dikatakan oleh Syakr binHausyab,” Bila para sahabat Rasulullah berbicara dan diantaranya ada Mu’adz bin Jabal, maka mereka akan minta pendapat kepada Mu’adz disebabkan kewibawaannya.”

Kecermelangan otak Mu’adz diakui oleh banyak orang, Kecemerlangan inilah yang menjadikan Rasulullah memuji Mu’adz, Rasulullah bersabda, “Umatku yang paling tahu akan yang halal dan yang haram ialah Mu’adz bin jabal.”

Kematian Mu’adz bin Jabal akibat terkena serangan penyakit tha’un, yaitu penyakit kusta pada jari telunjuknya. Beliau terkena penyakit ini justru bahagia bahkan mendo’akan agar seluruh keluarganya mendapat penyakit ini, Kenapa Mu’adz bisa seperti itu ? Karena beliau pernah mendengar dari Rasulullah bahwa penyakit thau’un sesungguhnya adalah rahmat dari Allah dan do’a Nabi serta wafatnya orang-orang shalih sebelumnya. Beginilah tanda keikhlasan manusia terbaik umat ini. meninggalnya Mu’adz pada usia yang pada tahun 18 Hijriyah pada pemerintahan Umar bin Khatab. (Sumber : As-Sunnah edisi 24/II/1416-1995; Hal.68)














Minggu, 10 Januari 2010

Catatan Desember Puncak Mahameru


Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.

Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).

Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.

  Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, Kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.

Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.

“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.

Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.

Sabtu, 03 Januari 2009

Tiga hari di penghujung tahun adalah pengalaman berkesan bagiku ketika diizinkan Allah untuk bisa sampai dan menapak di tanah kota Yogyakarta...to be continued

MIMPI

Di sebuah pinggiran kota, seekor kuda tampak berlari-lari kecil menelusuri jalan desa. Di atas punggungnya seorang pemuda menunggangi dengan begitu bersemangat. Sesekali sang kuda meringkik sebagai sambutan dari lecutan kecil tuannya. "Hayo hitam, hebaa...hebaa...," suara sang tuan sambil menepuk punggung belakang kuda.


"Kenapa kamu begitu bersemangat, Hitam? Padahal, kamu sudah begitu jauh berlari?" tanya seekor kerbau di sebuah tempat istirahat hewan tunggangan. Beberapa kuda lain tampak berbaring santai sambil mengunyah rumput hijau. Tali-tali kekang mereka masih terikat di tiang-tiang yang sudah disediakan. Kebetulan, sang kerbau berada tak jauh dari si kuda hitam. Dan Si Hitam pun menoleh ke kerbau.

"Aku punya mimpi, Teman!" jawab Si Hitam kepada kerbau. Sinar wajah Si Hitam masih menampakkan semangat yang tinggi. Ia sama sekali tak terlihat lelah.

"Mimpi?" tanya sang kerbau begitu penasaran.

"Ya, mimpi!" jawab Si Hitam begitu yakin. "Setiapkali meninggalkan kandang, aku memimpikan kalau tuanku akan membelikanku sepatu bagus. Dan setiapkali akan pulang, aku membayangkan kalau tuanku sudah menyiapkan rerumputan hijau di kandang. Ah, sungguh mengasyikkan!" jelas Si Hitam begitu optimis.

"Tapi, kenapa sepatumu masih jelek?" tanya sang kerbau sambil mencermati telapak kaki Si Hitam.

"Aku yakin, mimpiku akan jadi kenyataan. Mungkin besok, tuanku akan membelikanku sepatu," jawab Si Hitam begitu bergairah.

"Bagaimana kalau tidak juga?" sergah si kerbau seperti menggugat.

"Ya, besok lagi!" jawab Si Hitam masih optimis. "Pokoknya, aku tidak pernah kehilangan mimpi!" ucap Si Hitam sambil mengalihkan wajahnya ke arah rumput yang tersedia di hadapannya. Dan ia pun mengunyah sambil menanti tuannya yang akan mengajaknya pulang. 

***

Tidak semua mimpi muncul di saat tidur. Ada mimpi-mimpi yang lahir kala seseorang sedang terjaga. Bahkan, sangat terjaga. Mimpi jenis ini bisa diibaratkan seperti bahan bakar. Orang pun menjadi lebih bergerak dinamis. Jarak yang jauh terasa dekat. Halangan dan rintangan pun menjadi tak punya arti.

Itulah mimpi yang digenggam para orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Itu juga mimpi yang melekat pada para pemimpin sejati. Dan, mimpi yang dimiliki oleh siapa pun yang tak pernah lelah melakukan perubahan keadaan diri. Mereka terus bergerak pada untaian moto hidup: mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok.

Menarik apa yang telah diucapkan Si Kuda Hitam kepada sang kerbau, "Jangan pernah kehilangan mimpi!"
(eramuslim.com)