Rabu, 21 April 2010

satu Nyawa di Sudut Bangunan Tua Batavia

Lama tak terinjak walau selalu terbayang. Kekerasan yang terbalut oleh angkuhnya kemegahan. Hiruk pikuk yang selalu akrab dengan pencemaran. Langkah lapar tanpa kepedulian yang hilang tertelan egois dan individualisme sesama insan. Walau tak setuhnya, tapi seperti itulah gambaran kota kelahiranku, Jakarta.
Beberapa hari, tepatnya dua hari yang lalu aku kembali menginjak tanah kelahiranku, Jakarta. Tepatnya dalam rangka berkeliling bersama bude dan sepupuku. Berkeliling Kota menggunakan mobil yang disupiri oleh pamanku. Beberapa daerah kami jajaki, salah satunya daerah yang bernama...
Kami berhenti di sebuah toko kertas dan setelah masuk ke dalamnya, terlihat sosok yang membuahkan tanda tanya dalam benakku.
Seorang pria bermata sipit, kurus berperawakan China, kira2 berumur 60 tahun. Terduduk di sebuah kursi reot dengan penerang ruangan berukuran 5 watt. Berada di balik ribuan tumpukan kertas duplex berbau menyengat yang tersimpan bersamanya dalam sebuah bangunan Kios Tua berukuran 4X4m bernama XXX. Dengan berbekal nasi putih, kecap, teri/asin, dia menghabiskan masa kecil hingga menua di sana, menjadi 'PENGUSAHA' kertas dengan prinsip hidup takkan makan enak sebelum hidup kaya. Jakarta, 18-02-10